Di era digital yang kian berkembang pesat, media online memegang peran yang sangat strategis dalam membentuk opini publik. Perubahan pola konsumsi informasi dari media konvensional ke platform digital menandai hadirnya era disrupsi informasi, di mana kecepatan dan volume data menjadi penentu utama. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia turut merasakan dampak besar dari fenomena ini. Media online kini tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga agen pembentuk persepsi, wacana, dan sikap masyarakat terhadap isu-isu tertentu.
Dominasi Media Online dan Pergeseran Otoritas Informasi
Sebelum era digital, otoritas informasi didominasi oleh media arus utama seperti televisi, radio, dan surat kabar. Namun, kini, siapa pun dapat menjadi produsen informasi melalui blog, media sosial, dan portal berita daring. Pergeseran ini memberi peluang besar bagi masyarakat untuk mengakses informasi secara lebih demokratis, tanpa bergantung pada segelintir institusi media.
Namun demikian, dominasi media online juga membawa risiko. Di tengah kebebasan akses dan produksi informasi, tidak semua konten yang tersebar dapat dipertanggungjawabkan. Banyak media online, terutama yang mengejar klik dan trafik, cenderung mengedepankan sensasi dibandingkan verifikasi. Hal ini menciptakan lingkungan informasi yang tidak stabil, di mana kebenaran seringkali dikaburkan oleh opini yang dibentuk secara sistematis dan masif.
Media Online sebagai Agen Pembentuk Opini Publik
Opini publik adalah pandangan kolektif masyarakat terhadap suatu isu. Media online memiliki kemampuan besar dalam membentuk opini ini melalui pemilihan narasi, sudut pandang, dan framing berita. Misalnya, dalam isu-isu politik, cara media memberitakan tokoh tertentu dapat memengaruhi citra tokoh tersebut di mata publik. Judul berita, pemilihan kutipan, hingga penggunaan foto pun dapat menjadi alat pembentuk persepsi.
Media sosial yang menjadi bagian dari ekosistem media online juga berperan signifikan. Melalui algoritma yang menyaring informasi sesuai preferensi pengguna, masyarakat cenderung terjebak dalam "filter bubble" — lingkaran informasi yang memperkuat keyakinan mereka, tanpa disadari. Ini menciptakan polarisasi opini dan mempersempit ruang dialog antar kelompok dengan pandangan berbeda.
Disrupsi Informasi dan Tantangan Disinformasi
Disrupsi digital membawa tantangan baru: banjir informasi dan disinformasi. Di Indonesia, fenomena hoaks menjadi salah satu ancaman serius terhadap kualitas demokrasi. Disinformasi yang dikemas seperti berita resmi sering menyesatkan masyarakat, apalagi jika disebarkan oleh akun-akun yang memiliki banyak pengikut atau disponsori oleh entitas tertentu.
Dalam konteks ini, Ketik Media online dapat berperan sebagai benteng literasi digital—jika mereka mengedepankan prinsip jurnalistik seperti verifikasi fakta, keberimbangan, dan transparansi sumber. Sayangnya, tidak semua media online menjunjung etika tersebut. Banyak yang justru terjebak pada pola bisnis berbasis klikbait dan sensasionalisme, yang ironisnya justru memperkuat arus disinformasi.
Peran Literasi Media dan Tanggung Jawab Bersama
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya kolaboratif antara media, pemerintah, dan masyarakat. Media harus berkomitmen pada jurnalisme yang sehat dan bertanggung jawab. Pemerintah, melalui regulasi dan lembaga pengawas, perlu memastikan ekosistem digital yang adil dan aman. Sementara itu, masyarakat sebagai konsumen informasi harus meningkatkan literasi digital agar mampu membedakan informasi yang valid dari yang menyesatkan.
Kurikulum pendidikan juga perlu memasukkan pembelajaran literasi media sebagai bagian integral, agar generasi muda memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Penutup
Media online di era disrupsi informasi digital memiliki peran strategis sekaligus paradoksal. Di satu sisi, ia membuka ruang bagi demokratisasi informasi dan partisipasi publik yang lebih luas. Di sisi lain, ia juga menjadi ladang subur bagi disinformasi dan polarisasi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memastikan bahwa media online benar-benar menjadi alat pembebasan informasi, bukan alat manipulasi opini publik.
Dengan sinergi antara media yang bertanggung jawab dan masyarakat yang cerdas, Indonesia dapat menjadikan era digital sebagai era pencerahan informasi, bukan disrupsi yang membingungkan.